Psikologi Agama: Perdebatan dan Dialog

Pada paruh awal abad ke-20, hubungan antara Psikologi dan Agama dianggap tidak mudah. Terdapat dua hal mendasar kenapa hubungan sains dan religiusitas itu menjadi sulit harmonis. Pada satu sisi, psikologi merupakan disiplin ilmiah yang menekankan observasi terhadap perilaku manusia. Kata kuncinya adalah “observasi”. Sesuatu dianggap psikologis sepanjang hal tersebut dapat diobservasi dan dijelaskan secara saintifik. Di lain sisi, pada era itu, aspek-aspek keagamaan lebih banyak diakses dari tulisan, seperti kitab suci dan risalah keagamaan. Pengalaman-pengalaman personal terkait religiusitas dan spiritualitas dipahami sebagai hal yang di luar kajian psikologi karena bersifat individual. Kajian yang saintifik dan observatif terhadap perilaku manusia. Dari konsepsi ini sebenarnya diketahui bahwa di era tersebut, pada mulanya psikolog menganggap pengalaman keagamaan semata-mata sebagai pengalaman psikis dan afektif, tanpa mengaitkannya dengan aspek metafisik keagamaan. Secara kontras, kemunculan Psikologi Humanistik, Eksistensial, dan Transpersonal pada tahun 1960-an, mempengaruhi konsep-konsep psikologis yang berkembang kemudian semakin kompleks. Salah satu contoh perdebatan di era tersebut adalah, mulai muncul diskursus bahwa rasio bukanlah penentu utama perkembangan manusia. Terdapat emosi, dan hal lainnya di luar nalar, yang juga mempengaruhi perkembangan manusia. Perkembangan berikutnya, para akademisi sepakat mengistilahkan ranah penelitian psikologi atas fenomena keagamaan tersebut dengan istilah “psikologi perilaku keagamaan” (Psychological of Religious Behaviour). Disiplin Psikologi sendiri kemudian tidak hanya mengkaji fenomena fisik, tidak hanya perilaku yang empiris, melainkan juga aspek “dunia batin” manusia. Kemudian, meski lingkup psikologi dan agama sama-sama meliputi “dunia batin” (inner world), keduanya memposisikan dan menganalisis yang non-fisik ini secara berbeda. Psikolog mainstream cenderung memusuhi agama karena agama dianggap menimbulkan penyakit fisik dan mental. Secara kontras, psikolog yang mendukung agama cenderung menganggap penyakit kejiwaan lebih disebabkan aspek kejiwaan itu sendiri, bukan disebabkan oleh agama. Periode ini berlangsung sejak akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20. Asumsi utama dari era ini adalah psikologi merupakan serangkaian metode dan analisis terhadap fenomena keagamaan, dan menempatkan praktik dan pola keagamaan ke dalam makna-makna dan pola-pola psikologis. Dengan adanya konsepsi seperti ini, psikologi agama diasumsikan sebagai ranah kajian yang semata-mata menjadi bagian dari psikologi. Beberapa contoh dari konsepsi yang menempatkan agama lebih rendah dibandingkan psikologi adalah Psikoanalisis Sigmund Freud, yang didasari konsep bahwa Libido, atau aspek biologis, mempengaruhi psikis manusia. Manusia, sebagaimana Freud kemukakan, lebih ditentukan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya. Dengan aksioma tersebut, Freud melanjutkan pandangannya bahwa agama diproduksi oleh libido manusia di dalam ketidaksadaran. Behaviorisme Skinner, menganggap bahwa perilaku keagamaan sebatas bentuk dari tanggapan fisiologis manusia terhadap fenemena eksternal, yang sama saja berarti tidak adanya pengakuan terhadap faktor metafisik. Karena mengabaikan hal metafisik, aliran psikologi ini sangat sekuler. Sejak era 1960-an Psikologi dan Agama memasuki periode dialogis. Jika sebelumnya Psikologi Agama merupakan bagian dari Studi Psikologi, maka era “in dialogue with” dimaknai bahwa Psikologi dan Agama bukanlah bidang yang kohesif. Justru sebaliknya, era ini ditandai dengan asumsi bahwa agama dipahami sebagai kategori yang melampaui parameter psikologi. Kemunculan penyakit kejiwaan di tahun 1960-an, seperti “existensial psikosis”, menimbulkan pertanyaan betapa krisis makna hidup disebabkan oleh krisis spiritual yang dialami sebagian besar manusia. Sekulerisme dan materialisme menyebabkan kehampaan makna hidup manusia. Psikolog-Eksistensial semacam Victor Frankl menyodorkan bahwa “ultimate meanings” yang dicari manusia seharusnya tidak direduksi dengan prinsip-prinsip materialisme, atau dalam Bahasa Freud “kenikmatan” (pleasure), melainkan didasari prinsip “transformasi diri” (self-trancendent). Pernyakit kejiwaan yang semakin banyak ternyata mampu diseimbangkan, bahkan disembuhkan, melalui terapi psikologi keagamaan. Psikologi Sekuler ternyata tidak mampu memenuhi, atau bahkan mengganti, peranan aspek-aspek spiritualitas. Psikoanalisis hanya berhenti mendiagnosa sebab penyimpangan kejiwaan, hanya mampu mendiagnosa akar-akar masalahnya, tanpa mampu menyodorkan terapi yang mujarab. Dialog paling menonjol antara psikologi dan agama adalah kontribusi agama dalam meninjau ulang konsep-konsep Psikologi Kepribadian. Jika sebelumnya Psikologi Kepribadian terlalu fokus pada faktor biologis dan fisik sebagai faktor utama perkembangan kejiwaan manusia, sehingga mengabaikan aspek non-fisik, justru kontribusi agama kemudian mendorong aspek-aspek non-fisik atau Ruhani menjadi unsur-unsur yang harus diperhitungkan dalam kajian psikologis. Robert A. Emmons merinci kenapa dalam sejarah Psikologi, aspek Ruhani diabaikan cukup lama. Sejarah Psikologi tidak lepas dari pencarian ontologis yang mendasari kepribadian manusia. Aliran-aliran Psikologi sekuler cenderung mengabaikan unsur batin dari manusia. Salah satu contohnya, Behaviorisme menganggap kepribadian seseorang adalah produk dari stimulus eksternal yang kemudian membentuk perilaku seseorang. Behaviorisme menolak unsur batin manusia. Contoh lainnya, teori dorongan (drive theory) yang diwakili Sigmund Freud, lebih menekankan aspek libido, khayalan, sebagai elemen yang dominan, dan mengabaikan aspek Ruhani. Salah satu bentuk percakapan Psikologi dan Agama berkembang di Barat ketika beberapa akademisi memunculkan kajian Religious and Spiritual Development, yang fokus pada perkembangan keimanan, kepercayaan, religiusitas, dan spiritualitas. Mayoritas studinya dilakukan terhadap anak-anak. Chris J. Boyatzis menyebutkan, terdapat dua teori besar tentang religiusitas dan spiritualitas anak-anak, yakni (1). Model cognitive-development, yakni bagaimana anak-anak memikirkan agama secara bertahap, dan (2). Model sosialisasi, yakni pengaruh perilaku keagamaan orang tua terhadap anak. Mayoritas riset menggunakan teori Psikologi tahap Perkembangan Kepribadian menurut Jean Piaget yang diadopsi Gordon Allport, Ronald Goldman, dan Elkind, dalam teori Psikologi Keagamaan dan Kepribadian. Tahun 1962, David Elkind mempublikasikan Varieties of Religious Experience in Young Adolescents, sebuah riset terhadap 142 Siswa Kelas 9 di Amerika. Elkind menggunakan teori Jean Piaget Developmental Psychology, dengan metode Kuantitatif dan teknik Test IQ. Judul buku Elkind menggemakan kembali karya William James Varieties of Religious Experience”, sebuah karya monumental perintis Psikologi Agama. Riset Elkind dilanjutkan Ronald J. Goldman dalam Religious Thinking from Childhood to Adolesce, tahun 1964. Goldman meneliti Pendidikan Katolik di Sekolah Dasar (6-17 tahun) di Inggris. Ia juga menggunakan teori Jean Piaget Developmental Psychology, dengan metode Kualitatif dan teknik Structured Interview. Mayoritas riset tersebut, yang kemudian juga dilakukan Fritz K. Oser, Kathrin Kaiser & Ulrich Riegel, fokus pada teologi Kristen dan Katolik.Psikologi tentang Agama
Dialog Psikologi dengan Agama
Agama dan Rekonstruksi Psikologi Kepribadian
Perkembangan Spiritual dan Religius