Etnografi Soliter, Masih Cukupkah?

Etnografi telah dikenal luas sebagai bagian paling mendasar dari kerja antropologi dan telah diadopsi oleh berbagai disiplin ilmu, seperti Sosiologi, Psikologi, Ilmu Ekonomi, hingga Ilmu Kesehatan Masyarakat. Etnografi merupakan penggambaran tentang subyek komunitas yang diteliti melalui berbagi pengetahuan dan pengalaman. Hubungan antara antropologi dengan etnografi itu sendiri—studi antropolog itu etnografis atau studi etnografis itu berbasis antropologis—sejauh ini masih menjadi perdebatan yang sangat menarik di kalangan antropolog terkait isu produksi pengetahuan, ontologi, etika peneliti dan keterlibatannya, representasi, dan translasi pemahaman perbedaan kultural. Persoalan lebih lanjut mengenai etnografi sebagai praktik translasi pengetahuan, sistem representasi dan penulisan dari produksi pengetahuan akan dibahas pada kesempatan lain. Esai ini secara khusus membuka tantangan elaborasi penelitian etnografi dalam berkontribusi pada kerja produksi pengetahuan dan pemahaman dalam konteks penyusunan program dan kebijakan-kebijakan berbasis informasi lapangan yang dilakukan dalam kerja tim. Pengembangan metode penelitian antropologis etnografis di Indonesia secara historis pertama kali dikembangkan secara serius oleh Koentjaraningrat, Bapak Antropologi Indonesia, dengan memulai studi untuk disertasinya berjudul Metode Antropologi (1961[1958]). Dia mendedikasikan pengembangan disiplin ini tidak melalui studi mengenai suatu komunitas di suatu daerah, alih-alih menyusun bekal metode-metode untuk diajarkan kepada calon antropolog di berbagai universitas yang dirintisnya. Saya sengaja memulai penggalian historis dari sini, karena sangat relevan bagaimana disiplin ini pada awalnya dikembangkan di Indonesia untuk dapat dengan mudah diaplikasikan pada kerja-kerja terapan pembangunan daerah. Etnografi sebagai pendekatan penelitian sebenarnya tidak bergantung pada lama penelitian, tetapi sebuah sikap akademis untuk memahami sesuatu persoalan atau sesuatu yang dipersoalkan berdasarkan konteks dan kebutuhan. Akan tetapi, tantangannya bagaimana kita dapat mengelola penelitian dengan orientasi kontekstual sekaligus dapat menyesuaikan waktu yang terskematis tersebut? Bagaimana proses distribusi pengetahuan dalam tim seiring bertambahnya informasi melalui kerja tim tersebut? Esai ini mengajak mendiskusikan implikasi penggunaan metode penelitian yang telah dipilih sembari menyadari kebutuhan-kebutuhan metodologisnya dalam kerja project yang terbatas waktu dan skemanya. Kerja antropolog ialah menjadikan dirinya sendiri sebagai instrumen utama riset, yakni sebagai aktor utama desain penelitian, analisis temuan, penyimpulan jawaban atas suatu persoalan, hingga penyusunan rekomendasi maupun kebijakan. Antropolog dituntut mampu menjawab kebutuhan praktis untuk intervensi, mampu melakukan pengembangan metodologis baik dengan cara memodifikasi metode klasik etnografi maupun mengadopsi perkembangan-perkembangan metodologi kontemporer. Untuk tetap eksis dalam dunia profesi ini, mau tidak mau antropolog dituntut untuk mampu mengembangkan sebuah pendekatan dan metode etnografi yang bercirikan memiliki akurasi data, hasil analisis dan kesimpulan mudah diverifikasi, memudahkan adanya penelitian ulang (lanjutan), mampu mendesain sebuah penelitian panel (antar waktu), dan berbasis kredibilitas keilmuan yang ketat. Dengan ketiga relasi antar bagian—peneliti-subjects-audiens—kita berhadapan suatu kesepakatan-kesepakatan tertentu untuk melayani kemanusiaan sesuai dengan profesi antropolog. Lantas, bagaimana antropolog perlu mengembangkan kajian kemudian mampu menghadapi perubahan-perubahan konteks penelitian yang setidaknya merujuk pada tiga perubahan konteks utama profesi antropologi, yakni lingkungan akademis, kebutuhan pasar, dan subyek penelitian? Dapatkah penelitian etnografis dalam dilakukan dengan waktu relatif singkat? Tantangan seperti apa yang perlu dikembangkan secara kreatif ke depan terkait pengembangan metodologis yang dapat mengapropriasi kebutuhan- kebutuhan tersebut? Bagaimana cara kita mengumpulkan data yang terpercaya (reliable) pada situasi dan kebutuhan khusus penelitian, baik baseline riset, monitoring dan evaluasi, maupun riset aksi sosial dalam waktu yang singkat? Bagaimana kita bisa saling berbagi pemahaman, sementara kapasitas para peneliti yang beragam terhadap isu dengan kerja secara maksimal, mencakup kawasan yang luas dengan konteks sosial-historis masing-masing? Hampir dipastikan sejauh ini masih diupayakan untuk membangun dan menyusun suatu pemikiran ke arah kerja kolektif dan kolaboratif, suatu semangat yang dibangun dalam berkembangnya antropologi dengan keterbukaan secara lintasdisiplin. Semangat ini dihidupi secara profesional di dalam Antropologi Kontemporer (Anthropology of the Contemporary) yang diinisiasi oleh Paul Rabinow dan kawan-kawannya. Antropologi Kontemporer yang berkembang dari Antropologi Posmodern, secara kritis mempertanyakan proses-proses produksi pengetahuan para etnografer di lapangan dipertanyakan, terutama bagaimana dan sejauhmana keterlibatan partisipatifnya dalam menemu-kenali subyek penelitiannya. Dalam pandangan Stavrianakis (2009), pengembangan Antropologi Kontemporer dilatarbelakangi adanya respon kekurangpuasan terhadap model ‘riset individual’ dalam Antropologi untuk menciptakan organizational space yang memiliki dua implikasi penting. Pertama, membangun kerja kolektif pada formasi konsep yang ingin digunakan untuk orientasi kerja, membedah, dan menyusun data. Kedua, membangun standar evaluasi dalam menghubungkan peristiwa satu dengan lainnya untuk membangun pemahaman utuh selama proses-proses penggalian informasi. Dari poin inilah kita dapat menghidupkan kembali dan memperbarui kajian etnografi di Indonesia terutama mengenai upaya pengkondisian manajemen penelitian sejak pendefinisian lapangan dan pembentukan tim untuk membangun ruang organisasional dalam proses-proses produksi pengetahuan dan berbagi pemahaman secara kolaboratif.Praktik Translasi Pengetahuan
Etnografi Kolektif atau Kolaboratif?