Pengetahuan Ekologis Lokal, Pembangunan Berkelanjutan, Resiliensi, Mungkinkah?

Salah satu champion dalam kritik atas kapitalisme global – khususnya dalam wacana krisis iklim adalah indigenous ecological knowledge. Saya salah satu pendukungnya, setidaknya kemarin. Dalam buku terakhir yang saya tulis tentang Panglima Laot dan tradisi pengelolaan laut di Aceh, sebuah tesis, tampak sangat meyakinkan, saya ajukan: kalau mau laut tetap Lestari, tengok dan kembalilah pada pengetahuan dan kearifan lokal nelayan Aceh dalam mengelola laut; tentu saja dengan modifikasi kekinian sesuai perkembangan teknologi, juga sesuai semangat "kapitalis" yang telah merasuk di nafas para nelayan itu. Sebenarnya, ada kontradiksi mendasar di sana: pengetahuan ekologis lokal adalah antitesis dari ilmu manajemen lingkungan modern. Keduanya kontras secara mendasar. Butuh lebih banyak paragraf untuk mengungkap kontras dasar ini. Kita sebut saja beberapa. Pertama, pengetahuan ekologis lokal bersandar pada prinsip paling mendasar: mengikuti dan tunduk pada mekanisme alam. Sementara, manajemen lingkungan modern adalah kebalikan dari itu: merekayasa alam – menciptakan mekanisme-mekanisme buatan baru. Pengetahuan lokal modern memegang teguh prinsip "cukup". Kebalikannya, manajemen modern menuduh dogma "cukup" sebagai penghambat kemajuan, menyebut masyarakat yang mengikuti prinsip cukup sebagai "stagnan" dan "terbelakang"; mereka mengajukan dogma baru: progres – atau berkembang. Dalam perkembangan, kata cukup haram ada – kata itu harus dihapus dari kamus. Dalam sejarah, masuknya program-program pembangunan – wacana ujung tombak kapitalisme modern di dunia ketiga – tidak hanya mengubah tatanan fisik lanskap: sekolah baru, puskesmas dan rumah sakit baru, jalan aspal baru, pasar baru, dan seterusnya. Lebih jauh, "infrastruktur" baru itu mengubah cara berpikir warga lokal, mereka mulai mengenal dan mengimani "kemajuan": bahwa mereka juga harus maju, secara ekonomi, secara pendidikan, dan seterusnya. Penelitian saya di lereng Merapi menyaksikan bagaimana perubahan mindset tersebut terjadi, pelan tapi pasti. Singkatnya, justru kapitalisme modern yang membunuh (pelan-pelan) pengetahuan-pengetahuan ekologis lokal, membuatnya mereka tampak usang dan ketinggalan zaman. Jadi, kalau mau patuh pada logika: satu-satunya kondisi yang memungkinkan dipraktikkannya kembali pengetahuan ekologis lokal adalah kolapsnya sistem kapitalisme. Tentu saja, argumen ini tidak diminati (oleh banyak akademisi) sama sekali. Tampaknya, yang tengah kita saksikan adalah "pergulatan kapitalisme untuk mengakomodasi antitesisnya sendiri". Persis dalam fenomena "sub-kultur" di mana kapitalisme modern bisa dengan sangat cerdas mengooptasi mereka menjadi bagian dari kapitalisme itu sendiri. Cuma, ini menyangkut problem yang lebih mendasar: bagaimana mengelola bumi. Jika kita tarik terus jejak-jejak wacananya, maka kita akan mengenali bahwa wacana sustainable development alias "pembangunan berkelanjutan" adalah racikan sangat cerdas bagaimana kapitalisme modern mengakomodasi kritik-kritik mendasar dari para environmentalis ekstrem kiri. Dalam kajian bencana, wacana resilience adalah racikan cerdas atas kritik yang diajukan wacana vulnerability. Wacana ini persis mendorong pengetahuan ekologis lokal khususnya dalam konteks ancaman alam, untuk diterapkan dalam manajemen bencana modern, yang sebenarnya berbasis pada "rekayasa alam" sekaligus "rekayasa sosial". Di level lebih praktis, para pendukung wacana ketangguhan berkhotbah: jika masyarakat lokal bisa tangguh dengan pengetahuan dan praktik lokal mereka sendiri, maka sebaiknya negara jangan turut campur. Ah, persis seperti para pengkhotbah neoliberal: negara "sebaiknya" jangan turut campur. Saya jadi gamang – saya selama ini aktif terlibat mendorong inisiatif warga lokal – khususnya di lereng Merapi – untuk tangguh dengan sumber daya mereka sendiri; buat pelatihan ini, workshop itu, seminar anu, untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan ketangguhan mereka, jangan menggantungkan pada negara. Ah, saya tampaknya juga "agen" wacana ketangguhan yang neoliberal itu. Tapi, terus, kita harus ke mana? Harus bagaimana? Entah…