...
Nur Rosyid

Kajian Sains dan Teknologi: Tinjauan Singkat

4 Maret 2025, 18.36
Teknologi
...

Diskusi mengenai Science and Technology Studies (STS) sebagai sebuah disiplin studi, menarik untuk dicermati perkembangannya, salah satunya di Eropa. STS sendiri memiliki dua akronim, Science and Technology Studies dan Science, Technology and Society.

Arie Rip (1999) dalam tulisannya memberikan gambaran singkat yang cukup jelas mengenai keduanya dan bagaimana arah perkembangannya di Eropa.

Studi yang pertama memiliki karakteristik arah kajian pada upaya kritis Filsafat Pengetahuan dan Sosiologi memberikan perspektif yang segar mengenai kerja dan perkembangan sains dan teknologi. Disiplin ini mulai berkembang semenjak dikenalkannya studi mengenai paradigma dalam ilmu pengetahuan oleh Thomas Kuhn, walau pada akhirnya dia sendiri mundur karena ada indikasi kesalahpahaman dan salah jalan pada apa yang awalnya ingin dia kembangkan, yang secara sederhana dapat dipertanyakan mengapa kita merasa terancam, takut, atau tidak percaya pada pencapaian dan temuan-temuan sains.

Inilah yang kemudian memunculkan perdebatan dan dua perspektif yang tampak berseberangan dalam memahami sains dan teknologi, yang kemudian dikenal dengan “science wars”. Para ilmuan sosial seringkali mengajukan kritik yang dianggap mengurangi kredibilitas dan produktivitas para saintis. Sementara, menurut para saintis menganggap mereka tidak melakukan apa-apa terhadap apa yang telah mereka lakukan dalam kerja ilmu pengetahuan, selain melakukan penyelidikan terhadap pekerjaan mereka dan mempublikasikannya. Kondisi ini yang kemudian, sebagaimana dijelaskan Rib, turut mendorong para saintis dan terus menerus melakukan pergerakan dalam sebagai sebuah aksi membangun pemahaman akan pentingnya sains dan teknologi untuk kehidupan. Inilah yang melahirkan STS yang kedua (beberapa referensi menuliskannya ST&S).

Arie Rip, tumbuh besar sebagai seorang ahli kimia dan belajar filsafat pengetahuan, turut serta dalam pergerakan ini di Eropa bersama beberapa kampus, yang diinspirasi oleh John Bernal yang sebenarnya tumbuh lebih dulu dari disiplin yang pertama. Contoh gerakan ini dapat dilihat dari kemunculan European Association for the Study of Science and Technology (EASST). Mereka melakukan gerakan dengan menitikberatkan pada upaya para scientist turut membangun komunikasi, baik ke dalam sistem pendidikan maupun dalam kerja profesional mereka dan pertanggungjawaban sosial mereka.

Arie Rip sendiri mencoba mengembangkan perspektif pada STS yang kedua dengan membawa arah studi interdisipliner dari sosiologi, ekonomi, dan politik ke dalam kajian dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi seturut upayanya untuk mengaplikasikan dan menyusun assessment atas peran science dan technologi itu sendiri. Pengalaman ini membawanya pada pandangan ketidaksetujuan atas STS yang pertama, terutama oleh pendirinya sepertinya Bruno Latour. Ia kemudian berpikir bahwa STS di Eropa lebih baik untuk mencoba membangun korespondensi dan kolaborasi, terutama kajian kritis atas permasalahan sosial kemanusiaan, dimana STS sendiri juga menjadi bagian dari upaya mengatasi problem-problem sosial itu.

Saya memahami refleksi kritis Rip di sini, sebagaimana dia jelaskan, pertama ialah membawa semangat ide pencerahan, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dapat membantu membawa kehidupan ke arah yang lebih baik. Poin kedua ialah terkait isu relativisme pengetahuan dan konstruksi sosial ilmu pengetahuan dari kajian yang muncul dalam STS pertama, tidak semua bisa diterima, sebagai suatu kritik yang menghilangkan semangat profesional para saintis sebagaimana terjadi di Amerika, alih-alih melengkapi keduanya, memberi apresiasi sekaligus secara kritis turut terlibat dalam upaya implementasi kerja sains dan teknologi itu.

Bagaimana dengan Indonesia? Pertanyaan ini, barangkali menjadi catatan untuk pengembangan STS ke depan, juga membutuhkan upaya penyelidikan kritis kita pada capaian-capaian ilmu pengetahuan dan bagaimana implikasinya dalam kehidupan sehari-hari kita sendiri atau sebaliknya, bagaimana kehidupan sosial ekonomi politik kita turut membentuk kerja profesionalitas para saintis di Indonesia.

Upaya integrasi sebagaimana semangat yang diyakini Arie Rib itu, saya kira relevan untuk dikembangkan ke depan, di samping upaya kajian historis, situasi politik ekonomi dimana sains dan teknologi di Indonesia dikembangkan dan berkembang dari studi Soewarsono dkk (bahan tambahan). Dari pengalaman saya sendiri, upaya untuk mengintegrasikan dan melibatkan-diri sekaligus menjaga jarak (engagement and distance), cukup susah untuk dilakukan mengingat belum terbangunnya suatu ruang kolaboratif dimana orang dapat berbagi bahasa pengetahuan yang relatif setara atau saling mengerti.

Sebagai contoh, apa itu reaksi polimerase chain reaction (PCR) atau bagaimana bioreaktor bekerja dapat dipahami oleh para scholar atau terjalinnya analisis supply chain dan value chain dapat dipahami oleh para saintis? Ruang translational ini, saya kira menjadi krusial, dimana kerja kebutuhan akan kerja kolaboratif menjadi semakin diperlukan. Barangkali ini juga bukan permasalahan bahasa akademik, tetapi juga bagaimana suatu konsep dapat dimengerti oleh keduanya untuk bersama-sama terlibat dalam mengupayakan kehidupan yang lebih baik melalui ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ruang translational ini, suatu konsep yang coba saya pinjam dari konsep translational research yang lazim dipakai dalam penelitian yang menjembatani penelitian dasar sains dan penelitian sosial turut terlibat dalam mendefinisikan persoalan sekaligus turut menyusun suatu kerangka analisis, produksi pengetahuan dari penelitian dan pendefinisian nilai-nilai yang muncul dari penelitian itu atas suatu persoalan. Saya kira di sinilah STS di Indonesia bisa dikembangkan ke depannya.